Monday, November 19, 2001

Sebuah Puisi Dari Pengungsi

Dalam perjalanan itu
Aku bertanya pada ibu

"Bunda. Mengapa engkau bawa aku
dalam perjalanan ini
Menyusuri padang pasir
Mendaki bukit, menuruni lembah
Menjauh dari keramaian kota
Tinggalkan taman rumah
Yang kau bilang tak ramah lagi"

Ibu menyeretku tanpa jawab
Terlalu sibuk ia dengan bawaan
Terlalu banyak ia membawa beban
Beban hati… beban raga… beban jiwa…

Ibu menarikku tanpa kata
Tapi genggam jemarinya kepadaku berkata

"Nanda. Kau lihat rombongan yang bersama kita
Pilihan tak lagi mereka punya
Hanya sedikit harapan tersisa
Semoga esok masih ada dunia

Kau lihat kampung kita bercahaya
Bukan cahaya lampu, tapi pijar peluru
Bukan gemerlap pesta,
Tapi dentum meriam dan raungan pesawat!

Nanda, sakit rasanya berpisah
Lebih sakit hidup tanpa arah
Menyapa dunia ke mana angin membawa
Menggantung asa di mana nurani masih bicara"

Tangan ibu makin erat menggenggam
Ada semangat menyala
Hidup… redup… hidup… dan redup kembali
Ada kekuatan membaja
Ada hasrat membara
Ada kecewa dan sesal tak berujung pula

"kecewa!" Teriak bunda. Tangan itu menjelma taring-taring tajam
Mencengkram kuat. Sekuat hentakan rudal merobek kampungku, dan pergelanganku berdarah.

Tidak!
Darah itu tidak mengalir
Darah itu membeku
Diam di celah pori-pori tubuhku
Dan tak setetes pun mencair

"Malu!" Kudengar suara darah.
"Untuk apa aku harus mengalir jika hanya akan menambah luka?
Untuk apa aku mencair jika hanya memperparah luka?
Untuk apa aku harus mengucur jika hanya memperkeruh suasana?"

Aku terus berjalan
Bersama ibu, teman dan saudara
Aku terus tertatih
Bersama kuda, keledai dan unta
Aku masih merangkak
Bersama hasrat, harapan dan asa
Aku kini tergeletak
Bersama mimpi buruk yang terus menyertai

Hi-Seven, 19 Oktober 2001