Sunday, May 6, 2012

Babi

Pernahkah kamu tidur bersama babi? Pertanyaan ini tolong dipahami secara harafiah, dan bukan metafor. Benar-benar babi, hewan yang sepintas memiliki moncong imut tetapi hidup sangat jorok dan bau. Meski konon dagingnya sangat enak. Kamu pernah? Jika tidak, berterima kasihlah kepada kehidupan yang telah menjauhkan kamu dari babi. Maksudku, dari tidur bersama babi. Dan, kuharap, jangan sekali-kali kamu merencanakannya. Mungkin, dalam hal ini, aku tak terlalu beruntung. Walau sejak kecil aku sudah dicekoki berbagai macam ajaran tentang babi, dan semuanya mengharuskanku untuk menjauhinya, pada akhirnya, di suatu hari di Nusa Tenggara, jauh di timur sana, aku harus berteman—meski sesaat—dengan babi-babi itu. Sekali lagi, babi dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kehendakku jika aku harus berdesak-desakan dengan babi-babi itu. Bukan juga keinginan temanku yang sepanjang perjalanan kami merutuki nasibnya. “Ini simalakama!” umpat dia. Tapi sekeras apapun dia menyumpah, tetap saja babi-babi itu takkan pernah mengerti kata-katanya. Bahkan, kulihat babi-babi itu seakan tersenyum dan semakin bersemangat memelototi kami berdua. Babi-babi itu mungkin ingin sekali mengulang umpatan temanku, menirukan gayanya, tapi yang keluar hanya serupa lenguhan. Tak ubahnya anak-anak usia tanggung yang baru tahu kata kamseupay, lalu menirukannya karena penuh gaya, padahal mereka tak pernah tahu apa makna sebenarnya. Ceritanya, hari itu motor kami tiba-tiba mogok. Di sebuah daerah di dekat gunung Rinjani. Hari sudah malam. Pilihannya dua: bermalam di tempat tak bertuan itu tanpa kemah tanpa bekal makanan sambil menunggu pagi, atau menumpang kendaraan apa saja yang lewat ke desa atau kota terdekat. Meninggalkan begitu saja bangkai motor itu. Inilah buah dari keinginan berlebihan. “Kita jalan-jalan yuk. Ke tempat-tempat tak terjamah. Yang alami. Nusa Tenggara menawarkan eksotika. Katanya.” Dan aku mengiyakan saja usulan temanku yang akhirnya berujung sial itu. Setelah sekitar satu jam kami menunggu, cahaya itu datang. Kami bersiap. Berdiri di pinggir jalan seakan akan menyambut malaikat datang. Mobil! Dan mungkin kamu sudah menebaknya: kami terpaksa naik mobil pikap bersama segerombolan babi di kap belakang. Di depan, sudah duduk dengan tentang si sopir, pemilik babi dan istrinya yang tak pernah berhenti tersenyum sejak melihat temanku pertama kali (perlu aku tulis di sini bahwa penampilan temanku hampir tak ada beda dengan aksi Antonia Banderas dalam filmnya Desperado. Padahal dia itu asli Pacitan, bukan Meksikan!). Bahkan ketika mobil yang membawa 5 manusia dan 20 ekor babi itu diolengkan oleh jalan bebatuan yang tak rata, perempuan itu masih berusaha melirik ke belakang. Mencari temanku yang bertahan agar tubuhnya tidak ikutan oleng, lalu bersentuhan dengan babi-babi laknat itu. Pikirku, bahkan di tengah babi-babi ini, sebuah senyuman bisa lahir. Senyuman yang pasti membuat geram sang suami yang duduk di tengah-tengah, memisahkan perempuan itu dengan si sopir pikap. “Dasar babi!” teriak temanku ketika seekor babi tanpa merasa berdosa mengotori sepatunya. Dan persis ketika itu juga perempuan di jok depan tersenyum sambil menoleh ke arah belakang. Babi-babi itu memang tidak lebih dari 20 ekor. Tapi jumlah itu sudah cukup untuk memuntahkan semua persedian kosakata umpatan dan caci maki temanku. Aku diam saja. Aku sudah merasa cukup terwakili oleh kata-kata kotor itu. Bukan karena kami senang berada di pikap bau itu sehingga kami bertahan lebih dari 1 jam di atasnya. Bukan. Tetapi jaraklah yang membuat kami harus bersabar. Hingga pada akhirnya kami tiba di sebuah desa. Saat mobil itu berhenti, aku dan temanku seperti berlomba siapa cepat melompat. Jejakan pertama kaki kami di tanah terdengar seperti suara bel istrihat bagi anak-anak Sekolah Dasar di samping rumah. Suara yang melejitkan segala hasrat: hasrat bermain, hasrat jajan, hasrat keluar, dan hasrat lainnya. Bagi kami, hasrat itu berarti udara segar. Bernafas bebas. Bukan bau babi. Bukan aroma babi. Tapi… akhirnya kami sadar bahwa tanah yang kami pijak adalah sepetak kecil dari area peternakan babi yang begitu luas! “Kita bermalam di sini dulu. Besok pagi baru kita teruskan perjalanan ke kota…” Lelaki pemilik babi itu berkata tanpa memperhatikan raut muka kami. Lalu melangkah pergi. Antonio Banderas di sampingku tersenyum kecut… Wonocolo, 7 Mei 2012