Saturday, July 5, 2008

Menonton Kembali Legally Blonde 2

Menonton kembali Legally Blonde 2 di sebuah channel televisi Singapore. Ada sebuah petikan percakapan yang terus mengiang di telinga. Alkisah, usai menghadiri pertemuan parlemen pertamanya Elle merasa kehadirannya - dengan gaya stylish dan pinky - tidak mendapat sambutan baik dari kebanyakan anggota parlemen. Hari pertama di kantor menjadi hari yang buruk. Alih-alih meraih simpati, justru sinisme yang ia dapat. Elle merasa down. Di sebuah koridor saat ia akan pulang, seorang temannya menjajari langkahnya dan berkata, “Go like you, don’t go like them!”

Setiap orang memiliki cara dan gaya tersendiri dalam mengarungi kehidupan. Begitu kira-kira pesan dari perkataan di atas.

Benar. Setiap orang mempunyai pola pikir dan sudut pandang berbeda dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia memiliki metode yang beragam dalam memecahkan persoalan. Jika kita percaya apa yang sedang kita kerjakan adalah sebuah kebaikan, maka kerjakanlah, jangan hiraukan apa kata orang di sekeliling kita. Jika kita memiliki tujuan yang sama dengan mereka, jangan indahkan perbedaan prosedur yang kita jalani. Memaksakan mereka untuk mengikuti kita, atau sebaliknya, bukanlah sesuatu yang bijak.

Terkadang, saat seseorang merasa sukses dan bisa mencapai sesuatu yang dianggapnya baik, sesuatu yang dia pandang sebagai ideal, maka ia akan cenderung melihat bahwa apa yang dia lalui dan cara yang dia pakai adalah sebuah jalan yang perfect. Selanjutnya, dia pun menginginkan orang lain mengikuti apa yang dia lakoni, apa yang dia jalani. Agar juga mencapai kegemilangan, mungkin begitu dia pikir. Tentu saja keinginan seperti ini dipandang baik, tapi akan menjadi tidak baik jika ia menjelma menjadi sebuah “barometer” dan orang yang tidak mengikuti jalan serupa dianggap tidak baik. Jika sikap semacam ini dipelihara, bisa jadi, lama-lama ia akan menjelma menjadi embrio dari sebuah arogansi dalam tingkat yang paling mendasar. Di ranah kebebasan beragam, sikap semacam ini sangat berbahaya, sebab akan menumbuhsuburkan “jajmentasi” dan truth claim.

Choa Cho Kang, Spore, 5/7/2008

Tuesday, June 3, 2008

taksi perempuan

Saya sedang terburu-buru. Sebuah taksi saya hentikan. Begitu masuk saya langsung bilang, “Orchad Road, please…!”

“Yes, sir.”

Suara itu terdengar dari kursi sopir. Saya terkejut. Itu suara perempuan! Saya segera melihat sopir taksi dari kursi belakang. Benar. Sopir taksi ini perempuan! Rambutnya pirang. Saya kira, umurnya tidak kurang dari 50 tahun. Rona keriput di wajahnya menyiratkan usia senja itu. Saya bisa melihatnya dari sisi kiri, karena saya duduk di kursi belakang sebelah kiri.

Ternyata, menjadi sopir bukan hal yang aneh di Singapura. Setelah kejadian itu, saya kemudian sering melihat sopir angkutan umum, seperti bus kota, adalah perempuan. Awalnya, bagi saya, melihat seorang perempuan menjadi sopir taksi adalah sebuah surprise. Saya langsung terbayang bagaimana kisah perampokan dan pembajakan sopir taksi di Jakarta, padahal semua sopir taksi adalah lelaki. Bagaimana jika sopirnya adalah perempuan dan setua ibu berambut pirang ini?

Singapore, 3 Juny 2008