Wednesday, December 22, 2010

honesty and the limits of ethic

"tak seharusnya kau berkata begitu." ujar arif setelah memastikan arifah keluar dari ruang kami. ia memandangiku, dan aku menghentikan ketikan. aku menoleh ke arahnya.

"kenapa? apa yang salah dari kata-kataku? kujelaskan semua, apa adanya. tak ada yang aku tutupi atau aku tambahi. kau pun tahu."

"iya. aku tahu kau mengatakan apa adanya. tapi justru karena itu. kejujuran memang tidak mengenal batas. tapi etika memiliki batasan-batasan yang semestinya kita tahu."

"maksudmu?"

"tak seharusnya kamu menceritakan semua pembicaraanmu dengan arfa kepada arifah. kau tahu bukan, arfa dan arifah sedang dalam ketidakbaikan? maksudku, jika kamu ingin menceritakan dengan jujur apa yang ditanyakan arifah, katakanlah, tapi tolong pilah dan pilih mana yang kira-kira membawa kebaikan dan mana yang kau kira akan memperparah keadaan. ini bukan soal kamu dan arifah. tapi menyangkut arfa juga."

"sebentar. aku mulai mengerti ke mana arah perkataanmu. menurutmu, apakah itu salahku atau salah pertanyaan dari arifah kepadaku? apakah aku harus tidak menjawab sesuatu yang kutahu jika itu ditanyakan padaku?"

"kenapa tidak, jika itu kau rasa lebih baik? menyimpan bukan berarti tidak jujur. lawan dari kejujuran adalah kebohongan dan lawan dari menyimpan cerita adalah membeberkannya. kamu memang tidak boleh berbohong, tapi kamu berhak menyimpan sebuah cerita."

"tapi..."

"ah, sudahlah. kukira kamu pasti tahu bahwa yang dilarang oleh agama itu berbohong, bukan menyimpan sebuah cerita. kamu berhak diam saat ditanya. hidup ini bukan ruang ujian lisan yang setiap pertanyaannya harus dijawab dengan kata-kata."

"jika kita diam saja, ruang diam kita bisa diisi oleh cerita-cerita lain yang belum tentu benar. dan itu juga bisa merusak keadaan..."

"jangan memperluas tema. itu soal lain. kita sedang membahas ucapan dan ceritamu kepada arifah yang juga menyangkut arfa. that's all. aku mau lanjutkan kerja. dag..." arif nyengir. ia membiarkan aku yang melongo kesal ke arahnya. kulihat sekilas senyum kepuasan di wajahnya.

dasar lelaki pembuka. sukanya memulai pembicaraan dan tak mau menutupnya dengan benar! menutup seenaknya sendiri. lalu mana batasan-batasan etika yang dia singgung tadi? aku tidak marah, sebab aku tahu dia sedang bercanda dan etika tak mudah masuk dalam ruang canda.

Pe-Aa, 23.12.2010

No comments:

Post a Comment