Monday, July 18, 2011

Kami (Tidak) Merencanakan Kematiannya

ANGIN kencang dan hujan deras di luar sana membantu persembunyian kami. Petir yang susul menyusul dengan kilat sesekali mendramatisir suasana, seakan kami benar-benar menjauh dari mata dan telinga, dari penglihatan dan pendengaran. Kami berbicara dengan suara-suara yang dipelankan, tetapi emosi tetap terpancar.

Bere Oro adalah tempat yang tepat untuk bersembunyi. Perbukitan kering ini hanya didatangi para pencari kayu dan ranting kering di pagi hari, atau mereka yang mencari sarang burung di sore hari. Memang ada pemuda pemudi nakal yang menggunakan tempat ini untuk memadu kasih terlarang, terkadang, tapi tahun-tahun belakangan mereka tak lagi datang. Sejak orang-orang di kampung kami melakukan ronda ketat.

Beberapa menit yang lalu, setiap orang dari kami sudah mulai berdatangan ke gubuk kecil di tengah rimbun semak di perbukitan kering ini. Melalui jalan yang tak sama. Datang satu-satu, menghindari kecurigaan. Teringat hikayat saudara-saudara Yusuf yang diperintahkan ayahnya memasuki negeri Mesir dari pintu-pintu masuk yang berbeda.

Di barat matahari masih menyisakan semburat cahaya merahnya. Pada waktu-waktu jeda seperti ini, orang-orang tua yang tinggal di lembah Mor Oro pastilah sedang berada di Langgar, menemani anak-anak mereka belajar membaca Alquran dengan tekun. Para perempuan sembahyang dan mengaji di Mushalla. Kampung kami memisahkan perempuan dan lelaki. Langgar adalah tempat shalat kaum lelaki dan Mushalla dikhususkan sebagai tempat sembahyang kaum perempuan. Petang hari bagi mereka adalah waktu ibadah. Waktu untuk Tuhan.

Berlima kami duduk saling berdekatan. Keh Salman duduk di sisi utara. Entah sejak kapan tradisi itu, posisi duduk di bagian utara selalu diperuntukkan bagi mereka yang ditokohkan dalam masyarakat kampung kami. Di samping kanannya duduk Jimat, disusul Besit, lalu Bunaim. Aku duduk di sebelah kiri Keh Salman. Gubuk kecil ini berlantai tanah. Kami duduk di bawah tanpa alas apa pun. Di luar gubuk, Keh Salman telah memerintahkan dua Misna berjaga-jaga: Misnato dan Misnadin.

“Rencana ini sangat rahasia dan berbahaya.” Keh Salman membuka pembicaraan.

Kami berkumpul di sini disatukan oleh rumor yang bagi sebagian besar orang kampung kami dianggap sebagai teror. Sudah lebih dari sepuluh tahun rumor itu menghantui kami, dan belum ada satu orang pun yang berani untuk sekadar melawan.

DULU kampung kami adalah kampung yang tenang. Kampung yang damai. Orang-orang saling percaya satu sama lain. Hidup di sebuah pulau dimana kekerasan menjadi identitas, kampung-kampung lain menyindir kampung ini sebagai Kampung Perempuan. Lebih parah, mereka menyebut kampung kami Kampung Banci. Tak ada pertengkaran, tak ada perkelahian, tak ada duel, tak ada pertumpahan darah. Muara semua masalah adalah musyawarah. Penyelesaian bukanlah darah. Begitu moyang kami berpetuah.

Tetapi sejak Mak Amo pulang dari perantauannya, sepuluh tahun lalu, suasana kampung kami berubah. Perempuan itu tidak melakukan apa-apa, tetapi senyumannya menebar ancaman. Entah siapa yang memulai, lambat laun kami mulai terbiasa menggunjing, terbiada menuduh, dan terbiasa membicarakan sesuatu atau seseorang tanpa bukti, di seberang kenyataan.

Ketika istri Besit sakit, kemudian sekarat, dan tak lama setelah itu meninggal, keluarganya tak henti-henti menggunjingkan Mak Amo. Mereka menebar desas desus, jauh dari pendengaran Mak Amo. Anehnya, ketika bertemu dengan Mak Amo, mereka hanya bisa tersenyum. Senyum yang mungkin terlihat masam, atau bahkan mirip seringai. Termasuk Besit.

Dalam ijazah satu-satunya yang dia miliki, nama Besit tertulis lengkap Ahmad Wasit. Tapi sejak kecil orangtua, keluarga, tetangga, dan teman-teman sepermainannya memanggilnya Besit. Di kampung kami huruf W seringkali disuarakan dengan B. Sawah menjadi sabeh. Lawang menjadi labeng. Waru menjadi Beruh. Karena itulah, seloroh teman-teman, tak ada wartawan yang berani memasuki kampung kami. Mereka takut kehilangan identitas, sebab begitu masuk kampung ini mereka tak pernah lagi menjadi wartawan, tetapi bartaban.

Sejak kematian istri Besit itulah setiap orang yang sakit memimpikan Mak Amo. Menurut mereka Mak Amo datang dalam mimpi-mimpi mereka, dalam rupa-rupa yang berbeda. Hampir semuanya berpendapat sama: mimpi yang buruk! Mereka yang sakit karena memimpikan Mak Amo tidak berobat ke dokter. Mereka pergi dukun. Biasanya, sepulang dari dukun, mereka semakin yakin bahwa Mak Amo adalah penyebab penyakit mereka. Tapi, sekali lagi, mereka hanya bisa tersenyum saat berpapasan atau terpaksa berbasa-basi dengan Mak Amo.

Orang-orang di kampung kami percaya Mak Amo memiliki kesaktian di atas jangkauan akal. Dia hanyalah seorang perempuan tua, kecil, kurus, tetapi senyumnya membawa aura horor. Mereka yang berpapasan dengan Mak Amo akan segera mencuci muka saat tiba di rumah. Mereka yang bertandang ke rumah Mak Amo akan berpikir seribu kali untuk menyantap makanan di sana. Ketika Mak Amo bertandang ke rumah seseorang, oleh-oleh dari dia akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Tak semua orang berani menyentuhnya, apalagi memakannya.

Di rumah-rumah yang pintunya sudah ditutup, ketika malam sudah larut, orang-orang berbincang dalam samar tentang hal-hal yang menurut mereka saling berkaitan: santet, sihir, tenun, sakit, mati, dan Mak Amo.

Mak Amo tinggal sendirian. Rumahnya dikelilingi pohon-pohon tinggi. Konon, pohon-pohon itu adalah tempat tinggal jin-jin jahat yang dipelihara Mak Amo. Tepat di depan rumah Mak Amo berdiri sebuah pohon sawo yang sangat besar dan berumur lebih dari 113 tahun. Pohon itu ditanam oleh nenek Mak Amo yang menurut cerita adalah generasi pertama penerima ilmu hitam dalam keluarga Amo.

“Aku pernah melihat, dari kejauhan, pohon itu mengeluarkan api.” Tutur Bunaim suatu ketika di warungnya Jimat.

“Bukan hal yang aneh. Kamu pikir siapa yang selama ini mengirimkan panah-panah api hingga orang-orang di kampung kita sakit, bahkan ada yang mati?” Seseorang menimpali.

Orang-orang diam. Tak ada yang menjawab, tapi dalam hati mereka sudah yakin siapa sebagai jawabannya.

“Kalian tahu tidak, untuk memperoleh ilmu kesaktiannya, setiap malam Jumat Mak Amo melakukan ritual melangkahi Alquran!” Jimat mengatakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang-orang di warung itu berdesis. Bagi orang di kampung kami, Alquran adalah lambang agama tertinggi dan melangkahinya adalah dosa besar, sebesar-besarnya.

“Tak hanya itu,” lanjut Jimat. “Katanya, Mak Amo juga memiliki kamar khusus yang disediakan untuk para jin. Di setiap purnama Mak Amo bercinta dengan jin peliharaannya!” Orang-orang tertawa. Mungkin mereka geli membayangkan Mak Amo yang sudah peyot keriput berguling-guling bersama jin raksasa yang sering mereka lihat keluar dari lampu Aladin di televisi.

Desas desus dan perbincangan diam-diam di kampung kami lambat laun melahirkan keberanian. Orang-orang mulai berpikir untuk menghukum dan menyeret Mak Amo, tapi tuduhan hanya akan menjadi tuduhan tanpa ada bukti. Mimpi-mimpi tentu bukanlah bukti yang kuat. Senyum Mak Amo, meski itu bersifat horor, tak mungkin di-meja-hijau-kan.

Mak Amo tetap diterima saat ia datang ke majelis taklim, mushalla, atau masjid saat pengajian digelar. Ia tetap dihormati saat menjenguk orang sakit, padahal si sakit melihat wajah Mak Amo dalam rupa-rupa seram dalam tidurnya. Keluarga orang yang meninggal tetap menyilahkannya duduk saat ia melayat, padahal saat hidup si mayat melihatnya berkali-kali dalam mimpi-mimpi buruk.

Dan orang-orang di luar kampung kami semakin mencibir kampung ini sebagai Kampung Perempuan. Kampung Banci.

“SAYA benar-benar melihatnya pagi itu. Dengan mata kepala sendiri!” Jimat berusaha memelankan suaranya, tetapi tetap saja terdengar nyaring di telinga kami. Dulu dia adalah tukang minyak keliling yang sekarang sukses menjadi penyuplai gas elpiji, setelah orang-orang kampung beralih secara berjamaah menggunakan kompor gas. Meski tak mudah mengubah kebiasaan, lambat laun minyak tanah di kampung kami menjadi hal yang sulit ditemukan.

Nama asli Jimat sebenarnya Muhammad. Karena lidah orang di kampung lebih terbiasa dengan huruf t, maka kami memanggilnya Muhammat, atau Mat. Sepuluh tahun yang lalu Mat naik haji. Ia adalah orang ketiga di kampung kami yang naik haji, dan orang pertama dari kalangan luar pesantren yang pergi ke tanah suci. Orang pertama adalah Keh Abduh dan yang kedua Keh Salman. Sejak itu, bahkan sebelum ia berangkat ke tanah suci, orang-orang di kampung kami memanggilnya Haji Mat, disingkat Jimat.

“Kisah saya ini adalah bukti terbaru. Saat itu masih sangat pagi.” Jimat melanjutkan ceritanya. “Selesai menyapu halaman, saya hendak menyirami kebun bunga matahari di samping rumah. Sekilas saya melihat ada seseorang meletakkan sesuatu di pagar depan rumah Bhuk Diyeh. Orang itu mencurigakan. Dalam jarak seratus meter, saya bisa melihatnya ketakutan karena saya pergoki. Saya langsung mengejarnya dan dalam jarak yang semakin dekat, saya bisa melihat dengan jelas. Orang itu Mak Amo. Tidak salah lagi. Bajunya, perawakannya, bahkan baunya saya bisa kenali.” Kami semua menahan tawa.

“Seperti apa bau Mak Amo?” tanya Keh Salman sambil tersenyum. Suaranya pelan.

“Sayang,” Jimat membenarkan letak kopiah putihnya, “Mak Amo menghilang di tikungan terakhir jalan menuju pemakaman. Dia memang sakti. Sudah tua, nenek-nenek, tetapi larinya sekencang Mohammad Ali!” Semua orang hebat dalam kamus Jimat selalu disamakan dengan petinju legendaris Muhammad Ali. Bahkan Myke Tison yang muncul kemudian dianggap sebagai keturunan Ali.

Menurut cerita Jimat, setelah gagal mengejar Mak Amo, ia segera mengecek pagar depan rumah Bhuk Diyeh. Mencari sesuatu yang diletakkan tadi. Tapi tak ada sesuatu yang mencurigakan, kecuali beberapa biji paku berkarat yang diikat dengan tali karet.

Jimat meletakkan paku-paku itu di depan kami. “Ini pasti sesuatu yang diletakkan Mak Amo. Andai tidak saya pergoki, pasti dia akan meletakkan lebih banyak barang lagi.”

Kami tidak tertarik melihat paku-paku yang dibawa Jimat, karena dalam pertemuan sebelumnya kami sudah sering melihat barang-barang yang ditemukan banyak orang dan dipercaya adalah milik Mak Amo. Buntalan paku itu bukanlah bukti yang kuat, seperti juga hikayat penglihatan samar Jimat di pagi itu.

Bunaim kembali mengulang cerita tentang api yang dia lihat keluar dari pohon sawo rumah Mak Amo. Dia juga menceritakan lagi panah-panah api yang terbang dari arah rumah Mak Amo dan turun ke sasaran yang dituju. Entah di mana. Lalu esoknya ada cerita orang yang sakit, atap yang terbakar, pohon papaya yang kering, atau cerita-cerita gosong lainnya. Besit menyusulnya dengan hikayat mimpi-mimpi buruk yang dilihat istrinya sebelum meninggal.

Keh Salman menatapku, seakan meminta dukungan cerita. Aku seperti dipaksa untuk menceritakan bagaimana adi perempuanku menyebut nama Mak Amo setiap malam, dalam sakit perut berkepanjangan yang dia rasakan. Berminggu-minggu. Kini fisik adikku sudah kembali normal, tetapi memorinya terganggu. Setiap melihat perempuan tua, ia seperti melihat wajah Mak Amo, dan akhirnya berteriak-teriak.

Aku selalu mengulang cerita itu setiap kali orang-orang bertanya, menggenapi cerita panjang mereka. Aku harus memendam latar kebencianku kepada Mak Amo. Tak ada seorang pun yang tahu. Bahkan adik perempuanku.

Keh Salman terlihat ingin segera menyudahi cerita-cerita yang kami yakini sebagai kebenaran itu. Kebenaran untuk menghakimi Mak Amo. Aku sepakat dengan tatap mata Keh Salman, bahwa kami tak perlu cerita. Ia membenarkan letak duduknya. Kami semua terdiam. Sesekali ia melihat keluar, dari celah-celah bambu yang rusak, seakan meyakinkan diri bahwa di sana Misna bersaudara bertugas dengan baik.

Untuk menghakimi Mak Amo, kami hanya butuh keberanian. Bukankah kami datang ke di gubuk kecil ini untuk membangun keberanian? Keberanian kami butuh tempat, butuh teman berbagi, dan kami berusaha menemukannya dalam keinginan atau dendam yang selaras.

Kami tak pernah mendengar cerita dari Keh Salman. Kami juga tak berani menanyakannya. Apakah dia menyimpan kebencian yang sama kepada Mak Amo? Kami melihat Keh Salman sebagai orang tua yang mau mendengar keluh kesah anak-anaknya, mau menampung keinginan mereka, mau bekerjasama dengan mereka yang ingin menuntaskan kemarahan. Selama ini Keh Salman terlihat tanpa dendam, tapi dia sadar benar keinginan orang-orang kampung.

Kami semakin mendekat satu sama lain. Keh Salman menjelaskan semuanya dengan suara yang hanya terdengar oleh kami. Di luar, hujan sudah mereda. “Besok malam kita bergerak. Jam satu malam, saat gelap tertidur di rebah malam. Rencana harus kita laksanakan dengan baik. Tak boleh ada cacat. Harus terlihat benar sebagai kecelakaan!” Keh Salman memandang kami satu persatu, memastikan tak ada pertanyaan tersisa. Kemudian satu per satu dari kami pun pulang.

MATAHARI belum sempurna bersinar, tetapi rumah Mak Amo sudah penuh dengan orang. Sarbini, sang kepala desa, berdiri tegang didampingi Keh Salman. Pak carik terlihat mondar-mandir menelepon entah siapa. Aku berdiri agak jauh dari mayat Mak Amo yang ditutupi kain batik berwarna biru merah. Aku tidak tahu pasti ceritanya, tapi yang kudengar dari orang-orang, Mak Amo mati dibunuh. Ada tiga tusukan di lambungnya. Aku tidak bisa percaya atau tidak percaya, sebab aku belum melihat jasad Mak Amo. Sekilas aku melihat Jimat berdiri di seberang sana bersama dengan Besit. Kami saling berpandangan. Bunaim duduk di bawah pohon sawo besar. Lewat isyarat mata, kami pulang bersama. Kami meninggalkan Keh Salman yang menemani Pak Kepala Desa hingga polisi datang melihat TKP.

Tiba-tiba di tikungan jalan menuju pemakaman, sekelompok polisi menghadang kami. Tanpa banyak bicara mereka meringkus kami berempat. Dalam keterkejutan, setiap kami berusaha meloloskan diri. Aku berlari sekencang-kencangnya, secepat-cepatnya, tetapi seperti ada yang menahan kaki ini untuk melangkah. Nafasku tersengal. Aku melihat polisi-polisi itu menyeret Besit, Jimat dan Bunaim. Darah mengalir dari wajah mereka yang bersenggolan dengan batu-batu cadas di jalanan tak beraspal. Aku berontak sekuat-sekuatnya. Berteriak senyaring-nyaringnya.

“Pak, pak… Bangun! Mimpi buruk lagi ya?” Aku bergegas duduk dan melihat istriku membawa segelas air putih. Dalam kesadaran yang tak sempurna, aku melihat istriku seperti Mak Amo yang membawa segelas darah.

“Ayo cepat bangun, Pak. Ada kabar buruk. Keh Salman meninggal tadi pagi subuh.”

Kini di mataku istriku benar-benar menjadi Mak Amo, dan aku kembali terkulai lemas di pembaringan.

Sorbeje, 15-18 Juli 2011

No comments:

Post a Comment