Saturday, July 30, 2011

Percayakah Anda jika saya katakan bahwa monoteisme adalah sikap keberagamaan yang egois?

..........

Tunggu. Jangan salah sangka, atau marah, jika Anda adalah seorang pemeluk agama monoteistik. Maksud saya sederhana: ternyata agama yang mengajarkan konsep ketuhanan yang esa telah menjauhkan manusia dari kebersahabatan dengan alam di luar dirinya, yang dulu pernah sangat dekat mereka akrabi. Sangat dekat mereka akrabi?

Benar. Dahulu, moyang manusia secara sederhana mengenal dunia ini dalam dua bagian: natural dan supranatural. Tentu saja dua kata tersebut adalah istilah yang digunakan belakangan, sebab dahulu, manusia lebih memilih hidup untuk "mengalami" daripada "meneliti". Hubungan antara kedua realitas ini bisa dikatakan sebagai hubungan yang organik dan saling mengunci (interlocking). Manusia yang menempatkan dirinya sebagai "natural" meyakini adanya mereka yang "supranatural" dan berusaha untuk senantiasa menjalin hubungan yang akrab. Jika ada musibah, peristiwa buruk, atau rintangan, manusia beranggapan: ada yang salah dalam hubungan mereka dengan yang supranatural, lalu mereka berusaha memperbaikinya. Dengan cara yang sederhana juga: memperbaiki (atau memberikan) sesuatu yang mereka anggap bisa "mendamaikan" hubungan yang dianggap salah tersebut.

Kepercayaan seperti ini membuat manusia peka terhadap gejala-gejala alam: pepohonan, sungai, gunung, dan tanah. Manusia menjaga alam semesta sebagai ungkapan rasa jaga mereka terhadap hubungan dengan dunia yang supranatural. Dalam pandagan mereka, yang supranatural berkomunikasi dengan manusia melalui gejala-gejala alam, dan mereka memahami hal itu dengan baik. Atau, paling tidak, mereka berusaha memahaminya. Maka, timbullah keakraban hubungan. Meski, Anda mungkin akan mengatakan hal itu sebagai “keakraban sepihak” dimana manusia merasa akrab, padahal apa yang -mereka anggap- supranatural belum tentu merasa akrab dengan manusia?

Paling tidak, manusia pada saat itu memperhatikan gejala-gejala alam semesta, melalui praktik senyata-nyatanya, sebagai bagian dari hubungan dengan yang supranatural. Kelak muncul dan dikenal istilah "ayat-ayat kauniyah", tanda-tanda semesta.

Konsepsi ketuhanan yang esa, kemudian, menghilangkan hubungan yang erat antara manusia dengan alam semesta di atas. Semua hal, semua peristiwa, semua kejadian di muka bumi ini kemudian diyakini sebagai kehendak dan takdir dari Tuhan Yang Esa. Manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan Yang Esa. Alam semesta pun tersisih. Dunia Supranatural digambarkan sebagai Dunia Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa. Supranatural adalah Kehendak-Nya. Keyakinan atas jalinan hubungan itu masih ada, tetapi realitas yang supranatural itu yang berubah.

Kenyataan inilah yang saya sebut sebagai keberagamaan yang egois di awal tulisan. Maksudnya: keyakinan atas ketuhanan yang esa membuat manusia lambat laun menyingkirkan alam semesta dalam kerangka besar agama, keterwakilan yang supranatural, dan menyisihkannya dari perlunya menjalin hubungan baik.

Apakah manusia perlu kembali pada pola keberagamaan masa lalu untuk peduli dan peka terhadap gejala-gejala alam semesta?

Pamekasan, Juli 2011

No comments:

Post a Comment